Selasa, 15 Desember 2015

Paradoks Idealisme dan Pragmatisme Dalam Moralitas

Paradoks Idealisme dan Pragmatisme Dalam Moralitas

Jurang pemisah yang terjadi antara apa yang ‘seharusnya’ dengan apa yang menjadi ‘kenyataannya’ telah lama menjadi topik dalam pemikiran para filsuf besar sejak jaman Yunani kuno hingga jaman modern. Tema besar mengenai ide dan kenyataan mencakup hal yang sedemikian luas dan berupaya membahas dalam dialog-dialog tentang apa yang didefinisikan sebagai yang ‘nyata’ dan apa yang didefinisikan sebagai ‘konsep’, hal-hal yang merupakan ‘kekacauan’ dan ‘keteraturan’ dalam skala kosmik. Pada jaman modern, David Hume adalah filsuf abad ke-18 dengan Filsafat Moral yang membahas secara khusus etika moralitas yang berkenaan dengan apa yang kenyataan dan apa yang seharusnya (Is-Ought Problem).
Dalam skala kecil, implikasi pemikiran yang sangat besar itu sangat berdampak dalam totalitasnya dengan cara kita menjalani hidup dalam keseharian. Kita menyadari bagaimana setiap manusia memiliki pikiran dan bayangan tentang bagaimana dunia yang seharusnya, dunia ide, yang dianggap sebagai dunia yang ideal. Juga tentang dunia yang lebih disadari dan sedang dihidupi, yang dijalani dalam keseharian, realita dan kenyataan yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Jelas keberadaan celah pemisah itu menimbulkan ketegangan-ketegangan tersendiri dalam diri manusia yang hidup. Beberapa orang memiliki celah yang lebih besar dibandingkan orang yang lain, namun tidak ada seorang pun yang memiliki hidup yang berjalan sama persis dengan yang dia bayangkan; dibuktikan dengan tidak ada seorangpun yang puas dengan kehidupan yang dijalaninya.
Professor Pitirim Sorokin, seorang sosiolog dari Harvard University mengatakan bahwa sepanjang sejarah umat manusia, manusia mendambakan masyarakat atau negara yang memilki keadilan dan kesejahteraan sebagai idealisme tertinggi. Namun hal itu tidak pernah tercapai.
Setiap manusia memiliki cita-cita, bayangan, ide, tentang apa yang dia harapkan dalam hidupnya. Itu adalah apa yang menjadi idealisme.
Setiap manusia menjalani kehidupan keseharian, yang seringkali dalam derajat yang tidak sama antara seorang dengan yang lain, berbeda dengan apa yang dia inginkan, rencanakan, atau harapkan. Itu adalah apa yang disebut sebagai dunia pragmatis. Kata pragmatis di sini berbeda dengan kata pragmatis dalam filsafat pragmatisme. Kata pragmatis disini adalah suatu sikap dalam menghadapi sesuatu secara realistis dan dengan menggunakan akal sehat yang lebih mengedepankan aspek praktis daripada aspek teoretis.
Sebagai gambaran, saya bangun di pagi hari ini dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 7:20; saya membuka agenda jadwal kegiatan. Jam 9 pagi, mengurus laporan transaksi di bank. Jam 10, ada pertemuan dengan klien. Jam 12 siang, makan siang bersama rekan kerja di kantor. Jam 13, memeriksa laporan bulanan untuk mempersiapkan meeting jam 14. Terlihat cukup teratur dan sangat masuk akal. Tidak ada jadwal yang berkejar-kejaran. Semua baik-baik saja ketika saya melihat jadwal itu.
Hingga saya menyadari bahwa jam dinding di kamar tidur saya mati sejak jam 7:20 semalam. Saya memeriksa jam tangan saya disebelah tempat tidur dan waktu sekarang menunjukkan pukul 8:32.
Saya sudah terlambat. Dan saya harus merubah seluruh idealisme dalam kepala saya mengenai apa yang akan saya kerjakan hari ini dan secara pragmatis menyusun prioritas kegiatan yang harus saya buang jika saya ingin hari ini berlangsung baik. Saya kemudian membatalkan makan siang untuk mengurus laporan transaksi, karena saya sudah terlambat untuk pergi ke bank. Saya tidak bisa membatalkan janji dengan klien dan jelas saya masih harus memeriksa laporan bulanan jika saya mau mengadakan meeting jam 14.
Itu adalah yang fungsional menurut saya. Tetapi mungkin menurut orang lain, dia akan menggeser jadwal ke bank ke keesokan harinya karena satu dan lain alasan. Atau mungkin bagi orang yang lain lagi, dia akan memaksakan diri untuk tetap pada idealismenya kemudian mengerjakan semua yang tertulis di agendanya hari itu dengan perasaan tertekan, menggerutu mengenai situasinya, menyalahkan jam dinding yang mati, berlarian kesana kemari sambil menerobos antrian bank, mengebut di jalan raya, dan seterusnya, supaya hari itu berjalan seturut dengan yang dia mau.
Itulah kehidupan praktis kita sehari-hari.
“Idealis” akan membuat manusia sangat tertekan, mendorong dan memaksa agar apa yang dia mau dapat tercapai, tidak perduli apa yang harus dia lakukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Idealisme akan membentuk ambisi dan dorongan yang menjadi motivasi yang kuat.
Namun ditengah-tengah kehidupan ini, begitu banyak hal dan hambatan bisa terjadi karena satu dan lain hal seperti yang digambarkan oleh Murphy’s Law (Murphy’s Law secara sederhana menyatakan bahwa “Anything that can go wrong, will go wrong.” – Terj: apapun yang memiliki potensi untuk bisa menjadi salah/tidak beres, akan berjalan secara salah dan tidak beres.) Orang yang ambisius mengejar idealisme mereka kemudian menyusahkan diri mereka dengan berbagai-bagai kesulitan yang tidak perlu, mengejar hal-hal yang mungkin tidak bernilai terlalu tinggi, namun menjadi sesuatu yang sangat mereka inginkan hingga mereka mau mengorbankan apapun juga, mulai dengan diri mereka sendiri, orang-orang sekitar, teman, hingga keluarga dan orang-orang terdekat termasuk anak dan isteri.
“Pragmatis”, sebaliknya, akan membuat manusia hidup dengan lebih ringan, lebih santai, mau menerima kenyataan hidup bahwa hidup tidak akan menjadi seperti yang kita mau. Orang-orang yang pragmatis tidak mau repot dengan idealisme dan teori-teori dan konsep-konsep yang rumit dan susah. Mereka mengambil jalan pilihan untuk tidak perduli, membiarkan hidup mereka berjalan “mengikuti arus” dan mengarah pada kehidupan yang menganut paham pragmatisme. Mereka pasrah dalam hidup, bersikap cuek, karena hidup sudah cukup susah dijalani dengan kecuekan, apalagi jika masih harus ditambahi dengan pemikiran-pemikiran dan ide-ide dalam kepala mereka yang menuntut mereka kepada suatu bentuk kehidupan lain yang hanya bagus di dalam angan-angan.
Manakah yang lebih baik diantara keduanya? Idealis atau pragmatis?
“Every form of addiction is bad, no matter whether the narcotic be alcohol or morphine or idealism.” – Carl Jung
Terjemahan: Setiap bentuk kecanduan itu buruk, entah apakah candu itu adalah alkohol atau obat bius atau idealisme.
Yang lebih baik adalah memiliki hidup yang idealis DAN SEKALIGUS pragmatis. Yang benar diantara keduanya ada dalam bentuk paradoks, yaitu KEDUANYA BENAR. Idealisme tanpa pragmatisme akan menjadi hidup yang penuh dengan kesulitan karena kita memaksakan dunia yang ideal ke dalam dunia yang penuh dengan kerusakan ini. Pragmatisme tanpa idealisme akan menjadi hidup yang rusak, karena ketiadaan idealisme mendegradasi kehidupan kepada hal yang sepele dan tidak mengandung nilai yang agung maupun nilai yang tinggi.
Sebagai gambaran, moralitas dan ajaran kebaikan mengajak kita untuk hidup dengan memiliki cinta kasih, kebahagiaan, kedamaian, kesabaran, murah hati, baik, setia, lembut, dan pengendalian diri. Dan tidak ada hukum manapun yang menentang hal-hal tersebut. Namun dunia ini penuh dengan orang yang memiliki kedengkian, iri hati, kebencian, kepahitan, kekecewaan, keserakahan, garang, kasar, dan mengumbar emosi dan keinginan.
Bisakah kita secara ideal melakukan hal-hal yang baik ditengah tantangan kehidupan disekitar kita? Jika tidak bisa, apakah kita akan melompat menjadi pragmatis dan hidup dengan cara seperti semua orang lain yang berada di sekitar kita? Jawabannya, saya percaya, adalah kita tidak sanggup hidup secara idealis. Namun kita juga tidak mau hidup sembarangan.
Akan tetapi, ‘tidak mau hidup sembarangan’ pun telah membuat orang lelah karena upaya mereka hilang ditengah-tengah pengorbanan diri mereka, menjadikan mereka menjadi pragmatis juga pada akhirnya. Mereka yang berusaha dengan susah payah hidup baik, menelan kekecewaan demi kekecewaan. Mereka hidup jujur tapi ditipu, mereka hidup baik tapi hidup mereka menjadi sulit dan dibuat sulit oleh mereka yang jahat, dan menjadi seperti orang yang terkutuk, mereka menjaga pekerjaan tangannya dengan moralitas dan kejujuran dan kebaikan dan murah hati, dan usaha mereka seperti tidak berbuah, dan pekerjaan mereka seakan tidak menghasilkan simpanan untuk persediaan dimasa sukar.
Sementara mereka yang hidup sembarangan, hidup liar dan menjadi gemuk dan wajah mereka berseri-seri dengan banyak harta bendanya dan keluarganya berkelimpahan.
Jadi untuk apa hidup menjaga moral?
Jawabannya adalah untuk menjadi teladan, menjadi berkat bagi semua orang lain yang mengalami kesulitan yang sama. Menjadi teladan yang baik dan membuktikan bahwa masih ada kebaikan di dunia ini, dalam anugerah umum ditengah-tengah masyarakat yang jahat. Saya sangat suka kepada teladan Mother Teresa; itulah orang yang agung yang dikenal di seluruh dunia, bukan orang yang kaya, tapi orang yang baik. Dunia kita yang jahat pun mengerti bahwa tidak ada keagungan dalam kekayaan.
Kita menjaga idealisme kita, berupaya mencapai standard yang begitu tinggi, seperti sebuah cita-cita yang digantungkan setinggi langit, dan kita bekerja bersusah payah meraih idealisme kita. Pragmatisme tidak akan mengantarkan manusia ke bulan, dan tanpa idealisme, tidak akan ada upaya perjalanan ke bulan. Keduanya harus berjalan bersama dalam paradoksitas ide dan upaya yang benar. Beradaptasi melalui pragmatisme untuk mencapai idealisme, mencapai kondisi ideal terbaik di antara kondisi yang sudah jauh dari ideal. Mencari keadaan terbaik diantara semua yang jelek. Seperti contoh di atas mengenai hari saya yang diawali dengan jam dinding yang rusak, saya secara pragmatis berusaha untuk menghasilkan yang terbaik dari kondisi yang sudah tidak baik. Itulah paradoks idealisme dan pragmatisme dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar