Ayahku dimana?
Aku terlahir tanpa Ayah. Bukan. Bukan
karna Ibu perempuan tidak baik yang melahirkanku sebelum menikah. Tapi karna……
saat aku lahir, Ayah telah lama
tiada. Ibu hanya bilang Ayah meninggal dalam kecelakaan. Tapi setiap kali menceritakan itu, sorot mata Ibu
berbeda. Sepertinya Ibu menutupi sesuatu. Aku yang sudah 16 tahun ini merasa
sangat aneh tumbuh besar tanpa tahu sosok Ayah, hanya fotonya saja yang bisa
kupandangi, itupun jika Ibu sedang ingin membuka album foto Ayah. Karna Ibu
hanya menyimpan satu foto Ayah di satu album itu. Tidak ada foto lain. Itu pula
yang membuatku bertanya-tanya. Sebagai seorang anak, naluriku terbangun untuk
mengetahui bagaimana sosok Ayahku dulu, seperti apa dia. Aku sangat ingin tahu.
Diam-diam aku
mencuri lihat foto Ayah dalam satu-satunya Album lama yang kami punya saat Ibu
tertidur lelap. Tepat seperti dugaanku, ada tulisan dibalik foto itu. “Jakarta,
Jl. Kenanga V Blok C2 Taman Kenanga, dijalan ini kita bertemu, dijalan ini pula
kita berpisah terpisah”. Aku tidak
mengerti. Apa maksud tulisan ini? Apakah Alamat ini adalah tempat di mana Ayah
dan Ibu pertama kali bertemu? Apakah Ayah mengalami kecelakaan di jalan ini
juga?. Yang lebih membuatku penasaran adalah coretan di kata berpisah yang
menjadi terpisah. Seolah menyiratkan arti bahwa mereka di paksa berpisah. Apa
artinya ini? Semakin penasaran aku melihatnya.
Aku merasa
cerita tentang Ayah yang meninggal karna kecelakaan, hanyalah karangan Ibu.
Tapi aku sendiri masih bingung. Kenapa aku merasa begitu? Apa yang membuatku
berpikiran kalau Ibu mengarang cerita itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada
Ayah?
Berbekal alamat
itu, aku nekat datang ke Jakarta. Aku yakin Ayahku tidak meninggal dalam
kecelakaan. Entah apa yang terjadi padanya. Tapi aku yakin Ibu menutupi yang
sebenarnya.
Waktu
menunjukkan pukul 02:00 dini hari, aku melompat dari jendela kamarku. Aku yakin
Ibu pasti akan mendengar jika aku keluar melalui pintu utama rumah kami. Karna
kamar ibu terletak di depan dekat ruang utama. Aku bergegas. Jalanan sepi,
kosong tanpa ada orang yang lewat satupun. Komplek perumahan kami memang
terbilang sepi. Jangankan dini hari, pukul 8 malam saja komplek ini sudah sepi.
Maklumlah agak sedikit kampung.
Sebenarnya aku
bingung harus mengawali jalan ini ke mana. Tapi tiba-tiba ada truck berisi
penuh sayuran lewat di depan jalan besar tepat aku berdiri. Kucoba melambaikan
tangan, berharap truck itu mau berhenti. “Pak supir, boleh saya menumpang
sampai kota?”. Tanyaku pada supir truck sayur itu.
“Lho, malam-malam begini adek mau ke mana?”. Tanyanya padaku. “Saya
mau ke Jakarta
Pak”. Jawabku kemudian. “Kalau begitu ikut saja, sayur-sayur ini
juga akan diantar ke pasar di Jakarta”. Katanya lagi. Waaah beruntung
sekali aku bertemu dengan Bapak supir baik hati ini. Akupun berangkat.
JAKARTA,
Akhirnya aku sampai di Ibu Kota. Aku yang hanya
berbekal pakaian dan uang seadanya nekat datang ke kota ini demi menemukan kebenaran tentang
Ayahku. Apa sebenarnya yang membuat aku begitu ingin tahu. Kenapa Ibu tak
pernah mau menceritakan yang sebenarnya?
Aaah, biarlah
kucari tahu sendiri.
Hari masih subuh
saat aku tiba. Aku duduk di halte bus tempat Pak Supir truck menurunkan aku.
Masih sedikit orang berlalu lalang. Sekali-kali aku menanyakan jalan sambil
menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan alamat di balik foto Ayah. Sengaja
ku catat karna aku takut akan terlupa.
Aku berjalan ke
sana kemari menanyakan alamat itu. Tapi tak seorangpun yang bisa menunjukkannya
padaku. “Mba, maaf numpang tanya. Apa mba tau alamat ini?”.
Tanyaku pada seorang wanita dipersimpangan jalan sambil menunjukkan secarik
kertas bertuliskan alamat yang dimaksud. “Ya ampun dek, adek nyasar atau
bagaimana? Ini jauh sekali dari sini. Adek harus naik bus 3 kali atau kalau mau
sekali, bisa naik bus way. Alamat ini di Jakarta Selatan dek, sementara di sini
Jakarta Utara”.
Beruntung
bertemu dengan wanita ini. Dia menunjukkan arah jalan menuju alamat itu dan rute bus
yang harus aku tempuh untuk sampai ke sana. Meski dia bilang setibanya disana
aku harus tetap bertanya pada orang, tapi menurutku ini sudah jauh lebih baik
ketimbang dari subuh tadi tak ada seorangpun yang mampu menunjukkan jalan
padaku.
“Cuz we are gonna beee……always keep
it flying high in the sky of love…..”
lantunan lagu dari light house family tiba-tiba terdengar dari dalam tasku. Aku
suka sekali lagu ini, lagu yang berjudul high yang seolah-olah
bisa membuatku terbang tinggi jika mendengarnya, sengaja kujadikan ringtone
handphoneku.
Ibu menelponku.
Tepat seperti dugaanku. Saat Ibu akan membangunkanku untuk sekolah, Ibu pasti
akan langsung menelponku. Karna yang ia temukan di tempat tidur hanya selembar
surat dariku. Kuangkat telfon dari Ibu.
“Bu, biar Mila pergi untuk beberapa hari saja. Mila ngga akan lama ko Bu.
Ibu ngga usah cari Mila dulu ya, Mila pasti pulang”. Tanpa memberikan kesempatan Ibu
bicara, segera kututup telponnya. Kumatikan agar Ibu tidak terus menerus
menelponku. Tekadku sudah bulat untuk menemukan Ayah. Meski jika benar Ayah
telah meninggal, paling tidak aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah,
apa yang menyebabkan Ayah meninggal. Aku harus tahu.
Akhirnya aku
sampai. Dijalan ini, Jl. Kenanga V. di taman ini. Taman komplek perumahan mewah
yang rasanya aku tidak pantas berdiri di sini. Aku bingung. Aku duduk di bangku
taman sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, berfikir apakah
diantara orang-orang yang lewat ini ada yang tahu keberadaan Ayahku atau paling
tidak dimana beliau tinggal.
Waktu
menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih terduduk di taman. Tiba-tiba lewat penjual
nasi gorang, berhenti tepat di taman ini, dihadapanku. Dari malam saat kabur,
aku memang belum makan apa-apa. Jangankan makan, minumpun aku belum
merasakannya semenjak menginjak kota Jakarta ini. Lebih dari pada saat
berpuasa. Lapaaar sekali. Untung aku masih punya sisa uang bekas ongkos tadi,
masih ada 20.000 rupiah. “Cukup ngga ya buat sampai besok?”.
Tanyaku dalam hati. “Pak, nasi gorengnya berapa sepiring?”.
Tanyaku pada penjual nasi goreng keliling itu. “8.000 aja dek, mau?”.
Jawabnya sambil menatapku. “Boleh deh Pak satu”. Kataku kemudian.
Tiba-tiba aku
terfikir, apakah Bapak penjual nasi goreng ini tahu tentang Ayah? Jika dia
sudah lama berjualan di daerah komplek ini, pasti tahu. Aku yakin, pasti dia
tahu.
Sambil menyuap
nasi goreng yang kupesan, kuberanikan diriku untuk bertanya padanya. “Pak,
apa Bapak kenal dengan yang namanya Pak Sanjaya?”. tanyaku hati-hati. “Oooh
Pak Jaya. ya kenal. Seluruh komplek sini mana ada yang ngga kenal dengan
pengusaha besar itu? Memangnya adek dari mana? Masa tidak kenal Pak Sanjaya”.
aku terdiam seketika. Agak sedikit terkejut, karna ternyata Ayahku pengusaha
hebat, pengusaha besar. Tapi apa yang dimaksud Bapak penjual nasi goreng ini
sama dengan yang kumaksud ya? Apa iya aku anak konglomerat. Tak percaya
rasanya.
“Ngomong-ngomong adek ini siapanya ya? Apa ada hubungan saudara?
Rasa-rasanya mirip sekali dengan Pak Jaya”.
Aku tergugup
mendengar pertanyaan penjual nasi goreng itu dengan tiba-tiba. “Mmm……saya
calon pembantu barunya Pak. Dari kampung. Apa Bapak tahu dimana alamat persis
rumahnya?”. Tanyaku penasaran. “Oooh pembantu baru, rumahnya
dekat ko dari sini, adek jalan aja lurus ke arah sana, kemudian dipertigaan
jalan itu, adek belok kiri. Rumah ke dua dari kanan itulah rumah keluarga besar
Sanjaya tinggal. Tapi hati-hati ya dek, satpamnya galak-galak. Yaah maklum deh
keluarga ningrat terkenal seperti itu, harus dijaga ketat”.
Aku makin heran,
seberapa besar dan hebat sih Ayahku ini. Apa iya dia orang yang kumaksud? Apa
Bapak penjual nasi goreng ini yang salah? Haaah bingung rasanya.
Tiba-tiba aku
teringat handphoneku yang kumatikan seharian. Kucoba menyalakannya. Benar ada
berpuluh-puluh SMS dari Ibu, serentetan pertanyaan yang isinya sama. Aku
dimana? Mau apa? Ngapain? Sudah makan atau belum? Cepat pulang ! yaaah bernada
kekhawatiran seorang Ibu. Tiba-tiba handphoneku berdering. Nama helen tertera
di layar handphoneku. Sahabatku paling baik, selalu ada saat suka maupun duka,
sahabatku dari kecil. Aku tahu dia pasti lebih panik dari
Ibuku.
“Mil, lo di mana sih? Kasiankan Ibu lo nyariin ke mana-mana. Pulang Mil, jangan bikin gue bingung”. Katanya
sambil agak sedikit berteriak. “Udaah lo tenang aja len, gue baik-baik
aja ko. Nanti juga gue pulang. Bilang Ibu ngga usah khawatir. Gue pasti cepet
pulang ko. Gue beneran ngga lama deh. Sampein sama Ibu ya, gue sayaaaang banget
sama dia”. Kataku kemudian. “Kalo lo sayang sama Ibu lo kenapa lo tinggalin dia
sendirian di rumah. Udah cepet pulang ya. Lo jangan macem-macem. Pokonya lo
pulang sekarang juga. Jangan bikin gue bingung, jangan bikin Ibu sakit”.
Suara Helen melemah, terdengar seperti sambil menangis.
“Len, lo kenapa sih? Jangan lebay deh. Nanti juga gue pulang. Ngapain lo
nangis?”. Tanyaku
penasaran pada helen yang terdengar masih menangis.
“Lo tau, gue, nyokap gue, sama nyokap lo sekarang sebenernya udah ada di
Jakarta. Kita semua nyusulin lo Mil, kita khawatir Mil. Lo tuh ngotot banget
sih nyari Ayah lo”.
Belum selesai
pembicaraan kami di telpon, tiba-tiba telpon terputus. “Yaaah baterenya
pake abis segala lagi. Lupa udah dua hari belum di charge. Ya
udah lah mau gimana lagi”.
Kulanjutkan perjalananku kemudian.
Akhirnya aku sampai di alamat yang
dimaksud Bapak penjual nasi goreng tadi. Berdiri tepat dihadapan rumah ini.
Rumah dengan pagar super besar, kokoh dan tinggi. Aku terdiam menatap megahnya
bangunan dihadapanku yang mereka sebut rumah, yang bagiku lebih tepat disebut
istana. Rasanya aku bukanlah orang yang pantas berada di dalamnya.
“Milaaa……”.
Terdengar suara teriakan kecil memanggilku dari dalam pagar besar itu. Aku
terkejut, ternyata itu suara Ibu. Ibu berlari ke arahku yang tertegun di sana, menatap bingung ke
arah istana megah itu. Satpam membukakan pintu pagar besar itu demi membiarkan
Ibu menghampiriku. Seketika itu juga Ibu memelukku. “Kamu ke mana aja nak? Ibu cari kamu
dari pagi, Ibu panik. Kenapa kamu pergi tanpa bilang dulu sama Ibu, apa yang
kamu cari nak? Tidak cukupkah Ibu bagimu?”.
Aku masih
terdiam kaku. ”apa yang Ibu lakukan di sini? Bagaimana mungkin Ia bisa
ada di dalam Istana megah ini?”. tanyaku dalam hati. Belum berhenti
kekagetanku mendapati Ibuku berada dalam bangunan megah itu, tiba-tiba aku
dikejutkan kembali oleh kemunculan Helen, tante Rima Ibunda Helen, dan satu
Pria tinggi besar berkulit putih bersih yang tak lain adalah sosok yang ada
dalam foto yang selalu Ibu pandangi. ”Ayah......”. bibirku
tercekat mengucap kata itu.
Bagaimana bisa
Ayah ada di tempat ini, sementara Ibu selalu bilang bahwa Ayah telah lama
meninggal. Apa-apaan ini sebenarnya. Seketika itu juga, memuncak emosiku dan
tanpa sadar kudorong Ibu yang sedang memelukku. Syukurnya Ibu tidak sampai
jatuh saat terdorong oleh emosiku.
”Apa-apaan ini Bu? Apa itu Ayah? Ayah masih hidup Bu? Kenapa Ibu bilang
Ayah sudah meninggal belasan tahun lalu? Kenapa Bu?”. Ibu masih menangis tertunduk
dihadapanku. ”Iya nak, ini Ayah. Maafkan selama ini kami menutupinya”.
Tiba-tiba laki-laki gagah itu bicara sambil menghampiri kami. ”Jangan
sekali-kali anda mengaku sebagai Ayah saya, saya tidak mungkin mempunyai Ayah
yang tidak bertanggung jawab seperti anda. Bagaimana bisa anda hidup
bermewah-mewah seperti ini sementar anda membiarkan istri dan anak anda hidup
di kampung dengan segala keterbatasan mereka? Orang macam apa yang pantas
disebut Ayah seperti anda ini?”.
Kata-kata itu
meluncur begitu saja keluar dari mulutku. Tak terasa air matapun menetes,
mengalir membasahi pipi.
”Mil, jangan marah dulu. Gue juga baru tahu hari ini. Ceritanya terlalu
rumit untuk diceritain disini. Mendingan kita masuk dulu yuk”. Dengan bujukan Helen, akhirnya aku
berhasil meredam emosiku. Kamipun masuk ke dalam istana megah itu.
Aku sangat kagum
dengan bangunan yang mereka sebut rumah ini. Tapi emosiku selalu tersulut
setiap kali aku mengingat bahwa pemilik bangunan megah ini adalah orang yang
seharusnya menjadi Ayahku. Hidupnya bagaikan raja-raja yang selalu memiliki
apapun yang Ia inginkan, dia bisa mendapatkan segalanya. Tapi apa yang aku dan
Ibu dapatkan?
Ceritapun
dimulai, Ibu menceritakan secara detil dari awal.
Suatu ketika Ibu
dan Ayah berada dalam satu universitas. Mereka saling jatuh cinta. Namun
berhubung Ibu hanya orang biasa, hanya anak seorang karyawan biasa. Keluarga
Ayah tidak menyetujui hubungan mereka. Terlebih lagi kakek yang adalah Ayahnya
Ayah seorang politikus ternama. Saat itu kakek telah memilihkan jodohnya untuk
Ayah. Tapi kemudian Ayah lari bersama Ibu. Mereka menikah diam-diam. Saat Ibu
mengandungku tiga bulan, kakek dan para pesuruhnya menemukan mereka. Mereka
berlari, lari dan terus lari. Sampai akhirnya terhenti di Taman Kenanga, Ibu yang
sedang mengandungku tak kuat lagi untuk berlalri, Ibu takut kehilanganku
sehingga akhirnya menyerah di jalan itu, di taman itu.
Mereka terpisah
di taman itu, Ayah di paksa masuk ke dalam mobil yang dikemudikan para pesuruh
kakek dan meninggalkan Ibu yang terduduk di rumput-rumput taman itu sambil
berderai air mata.
Ibu kembali
pulang ke rumah keluarganya. Kakek dan nenekku, yang adalah orangtua Ibu sangat
bingung waktu itu, karna Ibu tengah mengandungku. Tidak mungkin mereka
membiarkan Ibu tetap tinggal di rumah itu. Warga tidak mungkin membiarkan
wanita hamil tanpa suami berada di lingkungan mereka.
Ketika
kebingungan itu semakin memenuhi pikiran mereka, datanglah tante Rima, Ibunda
Helen sahabatku. Ternyata, tante Rima adalah wanita yang dijodohkan dengan Ayah
oleh kakekku. Helen? Bukan, Helen bukan anak Ayah. Ternyata tante Rimapun
mengalami nasib yang sama dengan orangtuaku. Dia dipisahkan oleh kekasihnya
dulu. Tante Rima sudah mempunyai kekasih saat akan dijodohkan dengan Ayah. Saat
itu Ayah juga kasihan dengan Tante Rima yang juga sedang mengandung anak dari
kekasihnya. Akhirnya mereka membuat kesepakatan, demi politik keluarga, mereka
bersedia dinikahkan. Namun bagi mereka, itu hanya sebatas pernikahan politik.
Ayah tetap mengijinkan tante Rima yang saat itu berstatus istrinya untuk tetap
menemui kekasihnya yang adalah Ayah kandung Helen dengan syarat, Tante Rima
akan membantu kehidupan keluarga kami, aku dan Ibuku.
Saat itu Tante
Rima membawa Ibu ke pedesaan, ke sebuah rumah dimana sampai saat ini aku dan
Ibu tinggal. Tante Rima juga sengaja membeli rumah tidak jauh dari rumah yang
Ibu tinggali agar memudahkannya membantu Ibu dalam hal apa saja. Mulai dari
pendidikanku hingga semua kebutuhanku dan Ibu, tante Rima yang membiayai atas
kiriman Ayah.
Awalnya mereka
juga bingung kapan akan menceritakan semua tentang ini kepada kami, aku dan
Helen. Karna tidaklah mungkin bagi mereka untuk menentang kekuasaan kakek.
Sampai pada satu tahun yang lalu, kakek meninggal.
Tadinya Ayah
sudah memaksa Ibu untuk segera menceritakannya padaku. Begitu juga kepada tante
Rima, Ayah meminta tante Rima menceritakan juga pada Helen, menceritakan bahwa
Ayah yang selama ini mebesarkannya adalah Ayah sahabatnya juga. Namun Ibuku
yang begitu mengenalku, belum sanggup menceritakannya. Ibu takut aku tak dapat
menerimanya. Ibu tahu betapa kerasnya sifatku ini. Ibu takut kalau aku tidak
mau mengerti dan tetap membenci Ayah.
Yaah
bagaimanapun mereka tetap orangtuaku. Betapa besar pengorbanan Ibu demi
mempertahankanku. Aku juga patut bersyukur memiliki Ayah yang selalu mencintai
Ibu dalam keadaan apapun. Kini semuanya jelas.
Bulan depan Ayah
dan Ibu akan menikah secara resmi, tentunya setelah Ayah mengurus perceraiannya
dengan tante Rima. Tapi, Helen tetap menjadi saudaraku.
Akhirnya aku
tahu bagaimana rasanya memiliki seorang Ayah.
Terima kasih Ibu
atas perjuanganmu membesarkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar