Minggu, 13 Desember 2015

DIMANA AYAHKU

Ayahku dimana?


Aku terlahir tanpa Ayah. Bukan. Bukan karna Ibu perempuan tidak baik yang melahirkanku sebelum menikah. Tapi karna……
saat aku lahir, Ayah telah lama tiada. Ibu hanya bilang Ayah meninggal dalam kecelakaan. Tapi setiap kali menceritakan itu, sorot mata Ibu berbeda. Sepertinya Ibu menutupi sesuatu. Aku yang sudah 16 tahun ini merasa sangat aneh tumbuh besar tanpa tahu sosok Ayah, hanya fotonya saja yang bisa kupandangi, itupun jika Ibu sedang ingin membuka album foto Ayah. Karna Ibu hanya menyimpan satu foto Ayah di satu album itu. Tidak ada foto lain. Itu pula yang membuatku bertanya-tanya. Sebagai seorang anak, naluriku terbangun untuk mengetahui bagaimana sosok Ayahku dulu, seperti apa dia. Aku sangat ingin tahu.
Diam-diam aku mencuri lihat foto Ayah dalam satu-satunya Album lama yang kami punya saat Ibu tertidur lelap. Tepat seperti dugaanku, ada tulisan dibalik foto itu. “Jakarta, Jl. Kenanga V Blok C2 Taman Kenanga, dijalan ini kita bertemu, dijalan ini pula kita berpisah terpisah”. Aku tidak mengerti. Apa maksud tulisan ini? Apakah Alamat ini adalah tempat di mana Ayah dan Ibu pertama kali bertemu? Apakah Ayah mengalami kecelakaan di jalan ini juga?. Yang lebih membuatku penasaran adalah coretan di kata berpisah yang menjadi terpisah. Seolah menyiratkan arti bahwa mereka di paksa berpisah. Apa artinya ini? Semakin penasaran aku melihatnya.

Aku merasa cerita tentang Ayah yang meninggal karna kecelakaan, hanyalah karangan Ibu. Tapi aku sendiri masih bingung. Kenapa aku merasa begitu? Apa yang membuatku berpikiran kalau Ibu mengarang cerita itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah?
Berbekal alamat itu, aku nekat datang ke Jakarta. Aku yakin Ayahku tidak meninggal dalam kecelakaan. Entah apa yang terjadi padanya. Tapi aku yakin Ibu menutupi yang sebenarnya.
Waktu menunjukkan pukul 02:00 dini hari, aku melompat dari jendela kamarku. Aku yakin Ibu pasti akan mendengar jika aku keluar melalui pintu utama rumah kami. Karna kamar ibu terletak di depan dekat ruang utama. Aku bergegas. Jalanan sepi, kosong tanpa ada orang yang lewat satupun. Komplek perumahan kami memang terbilang sepi. Jangankan dini hari, pukul 8 malam saja komplek ini sudah sepi. Maklumlah agak sedikit kampung.
Sebenarnya aku bingung harus mengawali jalan ini ke mana. Tapi tiba-tiba ada truck berisi penuh sayuran lewat di depan jalan besar tepat aku berdiri. Kucoba melambaikan tangan, berharap truck itu mau berhenti. “Pak supir, boleh saya menumpang sampai kota?”. Tanyaku pada supir truck sayur itu. “Lho, malam-malam begini adek mau ke mana?”. Tanyanya padaku. “Saya mau ke Jakarta Pak”. Jawabku kemudian. “Kalau begitu ikut saja, sayur-sayur ini juga akan diantar ke pasar di Jakarta”. Katanya lagi. Waaah beruntung sekali aku bertemu dengan Bapak supir baik hati ini. Akupun berangkat.
JAKARTA,
Akhirnya aku sampai di Ibu Kota. Aku yang hanya berbekal pakaian dan uang seadanya nekat datang ke kota ini demi menemukan kebenaran tentang Ayahku. Apa sebenarnya yang membuat aku begitu ingin tahu. Kenapa Ibu tak pernah mau menceritakan yang sebenarnya?
Aaah, biarlah kucari tahu sendiri.
Hari masih subuh saat aku tiba. Aku duduk di halte bus tempat Pak Supir truck menurunkan aku. Masih sedikit orang berlalu lalang. Sekali-kali aku menanyakan jalan sambil menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan alamat di balik foto Ayah. Sengaja ku catat karna aku takut akan terlupa.
Aku berjalan ke sana kemari menanyakan alamat itu. Tapi tak seorangpun yang bisa menunjukkannya padaku. “Mba, maaf numpang tanya. Apa mba tau alamat ini?”. Tanyaku pada seorang wanita dipersimpangan jalan sambil menunjukkan secarik kertas bertuliskan alamat yang dimaksud. “Ya ampun dek, adek nyasar atau bagaimana? Ini jauh sekali dari sini. Adek harus naik bus 3 kali atau kalau mau sekali, bisa naik bus way. Alamat ini di Jakarta Selatan dek, sementara di sini Jakarta Utara”.
Beruntung bertemu dengan wanita ini. Dia menunjukkan arah jalan menuju alamat itu dan rute bus yang harus aku tempuh untuk sampai ke sana. Meski dia bilang setibanya disana aku harus tetap bertanya pada orang, tapi menurutku ini sudah jauh lebih baik ketimbang dari subuh tadi tak ada seorangpun yang mampu menunjukkan jalan padaku.
“Cuz we are gonna beee……always keep it flying high in the sky of love…..” lantunan lagu dari light house family tiba-tiba terdengar dari dalam tasku. Aku suka sekali lagu ini, lagu yang berjudul high yang seolah-olah bisa membuatku terbang tinggi jika mendengarnya, sengaja kujadikan ringtone handphoneku.
Ibu menelponku. Tepat seperti dugaanku. Saat Ibu akan membangunkanku untuk sekolah, Ibu pasti akan langsung menelponku. Karna yang ia temukan di tempat tidur hanya selembar surat dariku. Kuangkat telfon dari Ibu.
“Bu, biar Mila pergi untuk beberapa hari saja. Mila ngga akan lama ko Bu. Ibu ngga usah cari Mila dulu ya, Mila pasti pulang”. Tanpa memberikan kesempatan Ibu bicara, segera kututup telponnya. Kumatikan agar Ibu tidak terus menerus menelponku. Tekadku sudah bulat untuk menemukan Ayah. Meski jika benar Ayah telah meninggal, paling tidak aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah, apa yang menyebabkan Ayah meninggal. Aku harus tahu.
Akhirnya aku sampai. Dijalan ini, Jl. Kenanga V. di taman ini. Taman komplek perumahan mewah yang rasanya aku tidak pantas berdiri di sini. Aku bingung. Aku duduk di bangku taman sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, berfikir apakah diantara orang-orang yang lewat ini ada yang tahu keberadaan Ayahku atau paling tidak dimana beliau tinggal.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih terduduk di taman. Tiba-tiba lewat penjual nasi gorang, berhenti tepat di taman ini, dihadapanku. Dari malam saat kabur, aku memang belum makan apa-apa. Jangankan makan, minumpun aku belum merasakannya semenjak menginjak kota Jakarta ini. Lebih dari pada saat berpuasa. Lapaaar sekali. Untung aku masih punya sisa uang bekas ongkos tadi, masih ada 20.000 rupiah. “Cukup ngga ya buat sampai besok?”. Tanyaku dalam hati. “Pak, nasi gorengnya berapa sepiring?”. Tanyaku pada penjual nasi goreng keliling itu. “8.000 aja dek, mau?”. Jawabnya sambil menatapku. “Boleh deh Pak satu”. Kataku kemudian.
Tiba-tiba aku terfikir, apakah Bapak penjual nasi goreng ini tahu tentang Ayah? Jika dia sudah lama berjualan di daerah komplek ini, pasti tahu. Aku yakin, pasti dia tahu.
Sambil menyuap nasi goreng yang kupesan, kuberanikan diriku untuk bertanya padanya. “Pak, apa Bapak kenal dengan yang namanya Pak Sanjaya?”. tanyaku hati-hati. “Oooh Pak Jaya. ya kenal. Seluruh komplek sini mana ada yang ngga kenal dengan pengusaha besar itu? Memangnya adek dari mana? Masa tidak kenal Pak Sanjaya”. aku terdiam seketika. Agak sedikit terkejut, karna ternyata Ayahku pengusaha hebat, pengusaha besar. Tapi apa yang dimaksud Bapak penjual nasi goreng ini sama dengan yang kumaksud ya? Apa iya aku anak konglomerat. Tak percaya rasanya.
“Ngomong-ngomong adek ini siapanya ya? Apa ada hubungan saudara? Rasa-rasanya mirip sekali dengan Pak Jaya”.
Aku tergugup mendengar pertanyaan penjual nasi goreng itu dengan tiba-tiba. “Mmm……saya calon pembantu barunya Pak. Dari kampung. Apa Bapak tahu dimana alamat persis rumahnya?”. Tanyaku penasaran. “Oooh pembantu baru, rumahnya dekat ko dari sini, adek jalan aja lurus ke arah sana, kemudian dipertigaan jalan itu, adek belok kiri. Rumah ke dua dari kanan itulah rumah keluarga besar Sanjaya tinggal. Tapi hati-hati ya dek, satpamnya galak-galak. Yaah maklum deh keluarga ningrat terkenal seperti itu, harus dijaga ketat”.
Aku makin heran, seberapa besar dan hebat sih Ayahku ini. Apa iya dia orang yang kumaksud? Apa Bapak penjual nasi goreng ini yang salah? Haaah bingung rasanya.
Tiba-tiba aku teringat handphoneku yang kumatikan seharian. Kucoba menyalakannya. Benar ada berpuluh-puluh SMS dari Ibu, serentetan pertanyaan yang isinya sama. Aku dimana? Mau apa? Ngapain? Sudah makan atau belum? Cepat pulang ! yaaah bernada kekhawatiran seorang Ibu. Tiba-tiba handphoneku berdering. Nama helen tertera di layar handphoneku. Sahabatku paling baik, selalu ada saat suka maupun duka, sahabatku dari kecil. Aku tahu dia pasti lebih panik dari Ibuku.
“Mil, lo di mana sih? Kasiankan Ibu lo nyariin ke mana-mana. Pulang Mil, jangan bikin gue bingung”. Katanya sambil agak sedikit berteriak. “Udaah lo tenang aja len, gue baik-baik aja ko. Nanti juga gue pulang. Bilang Ibu ngga usah khawatir. Gue pasti cepet pulang ko. Gue beneran ngga lama deh. Sampein sama Ibu ya, gue sayaaaang banget sama dia”. Kataku kemudian. “Kalo lo sayang sama Ibu lo kenapa lo tinggalin dia sendirian di rumah. Udah cepet pulang ya. Lo jangan macem-macem. Pokonya lo pulang sekarang juga. Jangan bikin gue bingung, jangan bikin Ibu sakit”. Suara Helen melemah, terdengar seperti sambil menangis.
“Len, lo kenapa sih? Jangan lebay deh. Nanti juga gue pulang. Ngapain lo nangis?”. Tanyaku penasaran pada helen yang terdengar masih menangis.
“Lo tau, gue, nyokap gue, sama nyokap lo sekarang sebenernya udah ada di Jakarta. Kita semua nyusulin lo Mil, kita khawatir Mil. Lo tuh ngotot banget sih nyari Ayah lo”.
Belum selesai pembicaraan kami di telpon, tiba-tiba telpon terputus. “Yaaah baterenya pake abis segala lagi. Lupa udah dua hari belum di charge. Ya udah lah mau gimana lagi”. Kulanjutkan perjalananku kemudian.
Akhirnya aku sampai di alamat yang dimaksud Bapak penjual nasi goreng tadi. Berdiri tepat dihadapan rumah ini. Rumah dengan pagar super besar, kokoh dan tinggi. Aku terdiam menatap megahnya bangunan dihadapanku yang mereka sebut rumah, yang bagiku lebih tepat disebut istana. Rasanya aku bukanlah orang yang pantas berada di dalamnya.
“Milaaa……”. Terdengar suara teriakan kecil memanggilku dari dalam pagar besar itu. Aku terkejut, ternyata itu suara Ibu. Ibu berlari ke arahku yang tertegun di sana, menatap bingung ke arah istana megah itu. Satpam membukakan pintu pagar besar itu demi membiarkan Ibu menghampiriku. Seketika itu juga Ibu memelukku. “Kamu ke mana aja nak? Ibu cari kamu dari pagi, Ibu panik. Kenapa kamu pergi tanpa bilang dulu sama Ibu, apa yang kamu cari nak? Tidak cukupkah Ibu bagimu?”.
Aku masih terdiam kaku. ”apa yang Ibu lakukan di sini? Bagaimana mungkin Ia bisa ada di dalam Istana megah ini?”. tanyaku dalam hati. Belum berhenti kekagetanku mendapati Ibuku berada dalam bangunan megah itu, tiba-tiba aku dikejutkan kembali oleh kemunculan Helen, tante Rima Ibunda Helen, dan satu Pria tinggi besar berkulit putih bersih yang tak lain adalah sosok yang ada dalam foto yang selalu Ibu pandangi. ”Ayah......”. bibirku tercekat mengucap kata itu.
Bagaimana bisa Ayah ada di tempat ini, sementara Ibu selalu bilang bahwa Ayah telah lama meninggal. Apa-apaan ini sebenarnya. Seketika itu juga, memuncak emosiku dan tanpa sadar kudorong Ibu yang sedang memelukku. Syukurnya Ibu tidak sampai jatuh saat terdorong oleh emosiku.
”Apa-apaan ini Bu? Apa itu Ayah? Ayah masih hidup Bu? Kenapa Ibu bilang Ayah sudah meninggal belasan tahun lalu? Kenapa Bu?”. Ibu masih menangis tertunduk dihadapanku. ”Iya nak, ini Ayah. Maafkan selama ini kami menutupinya”. Tiba-tiba laki-laki gagah itu bicara sambil menghampiri kami. ”Jangan sekali-kali anda mengaku sebagai Ayah saya, saya tidak mungkin mempunyai Ayah yang tidak bertanggung jawab seperti anda. Bagaimana bisa anda hidup bermewah-mewah seperti ini sementar anda membiarkan istri dan anak anda hidup di kampung dengan segala keterbatasan mereka? Orang macam apa yang pantas disebut Ayah seperti anda ini?”.
Kata-kata itu meluncur begitu saja keluar dari mulutku. Tak terasa air matapun menetes, mengalir membasahi pipi.
”Mil, jangan marah dulu. Gue juga baru tahu hari ini. Ceritanya terlalu rumit untuk diceritain disini. Mendingan kita masuk dulu yuk”. Dengan bujukan Helen, akhirnya aku berhasil meredam emosiku. Kamipun masuk ke dalam istana megah itu.
Aku sangat kagum dengan bangunan yang mereka sebut rumah ini. Tapi emosiku selalu tersulut setiap kali aku mengingat bahwa pemilik bangunan megah ini adalah orang yang seharusnya menjadi Ayahku. Hidupnya bagaikan raja-raja yang selalu memiliki apapun yang Ia inginkan, dia bisa mendapatkan segalanya. Tapi apa yang aku dan Ibu dapatkan?
Ceritapun dimulai, Ibu menceritakan secara detil dari awal.
Suatu ketika Ibu dan Ayah berada dalam satu universitas. Mereka saling jatuh cinta. Namun berhubung Ibu hanya orang biasa, hanya anak seorang karyawan biasa. Keluarga Ayah tidak menyetujui hubungan mereka. Terlebih lagi kakek yang adalah Ayahnya Ayah seorang politikus ternama. Saat itu kakek telah memilihkan jodohnya untuk Ayah. Tapi kemudian Ayah lari bersama Ibu. Mereka menikah diam-diam. Saat Ibu mengandungku tiga bulan, kakek dan para pesuruhnya menemukan mereka. Mereka berlari, lari dan terus lari. Sampai akhirnya terhenti di Taman Kenanga, Ibu yang sedang mengandungku tak kuat lagi untuk berlalri, Ibu takut kehilanganku sehingga akhirnya menyerah di jalan itu, di taman itu.
Mereka terpisah di taman itu, Ayah di paksa masuk ke dalam mobil yang dikemudikan para pesuruh kakek dan meninggalkan Ibu yang terduduk di rumput-rumput taman itu sambil berderai air mata.
Ibu kembali pulang ke rumah keluarganya. Kakek dan nenekku, yang adalah orangtua Ibu sangat bingung waktu itu, karna Ibu tengah mengandungku. Tidak mungkin mereka membiarkan Ibu tetap tinggal di rumah itu. Warga tidak mungkin membiarkan wanita hamil tanpa suami berada di lingkungan mereka.
Ketika kebingungan itu semakin memenuhi pikiran mereka, datanglah tante Rima, Ibunda Helen sahabatku. Ternyata, tante Rima adalah wanita yang dijodohkan dengan Ayah oleh kakekku. Helen? Bukan, Helen bukan anak Ayah. Ternyata tante Rimapun mengalami nasib yang sama dengan orangtuaku. Dia dipisahkan oleh kekasihnya dulu. Tante Rima sudah mempunyai kekasih saat akan dijodohkan dengan Ayah. Saat itu Ayah juga kasihan dengan Tante Rima yang juga sedang mengandung anak dari kekasihnya. Akhirnya mereka membuat kesepakatan, demi politik keluarga, mereka bersedia dinikahkan. Namun bagi mereka, itu hanya sebatas pernikahan politik. Ayah tetap mengijinkan tante Rima yang saat itu berstatus istrinya untuk tetap menemui kekasihnya yang adalah Ayah kandung Helen dengan syarat, Tante Rima akan membantu kehidupan keluarga kami, aku dan Ibuku.
Saat itu Tante Rima membawa Ibu ke pedesaan, ke sebuah rumah dimana sampai saat ini aku dan Ibu tinggal. Tante Rima juga sengaja membeli rumah tidak jauh dari rumah yang Ibu tinggali agar memudahkannya membantu Ibu dalam hal apa saja. Mulai dari pendidikanku hingga semua kebutuhanku dan Ibu, tante Rima yang membiayai atas kiriman Ayah.
Awalnya mereka juga bingung kapan akan menceritakan semua tentang ini kepada kami, aku dan Helen. Karna tidaklah mungkin bagi mereka untuk menentang kekuasaan kakek. Sampai pada satu tahun yang lalu, kakek meninggal.
Tadinya Ayah sudah memaksa Ibu untuk segera menceritakannya padaku. Begitu juga kepada tante Rima, Ayah meminta tante Rima menceritakan juga pada Helen, menceritakan bahwa Ayah yang selama ini mebesarkannya adalah Ayah sahabatnya juga. Namun Ibuku yang begitu mengenalku, belum sanggup menceritakannya. Ibu takut aku tak dapat menerimanya. Ibu tahu betapa kerasnya sifatku ini. Ibu takut kalau aku tidak mau mengerti dan tetap membenci Ayah.
Yaah bagaimanapun mereka tetap orangtuaku. Betapa besar pengorbanan Ibu demi mempertahankanku. Aku juga patut bersyukur memiliki Ayah yang selalu mencintai Ibu dalam keadaan apapun. Kini semuanya jelas.
Bulan depan Ayah dan Ibu akan menikah secara resmi, tentunya setelah Ayah mengurus perceraiannya dengan tante Rima. Tapi, Helen tetap menjadi saudaraku.
Akhirnya aku tahu bagaimana rasanya memiliki seorang Ayah.
Terima kasih Ibu atas perjuanganmu membesarkanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar