Minggu, 27 Desember 2015

TUNA DAKSA



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh (anak tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus) masih dipermasalahkan. Munculnya permasalahan tersebutterkait dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehialangan salah satu atau lebih fungsianggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak mengalami kesulitan untuk menititugas perkembangannya, tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa(khususnya tunadaksa ringan).
            Secara umum dikenal dua macam anak tunadaksa. Pertama, anak tuna daksa yang disebabkan karena penyakit polio, yang mengakibatkan terganggunya salah satu fungsianggota badan. Anak tunadaksa kelompok ini sering disebut orthopedically handicapped,tidak mengalami hambatan perkembangan kecerdasannya. Oleh karena itu mereka dapat belajar mengikuti program sekolah biasa.
Kedua, anak tunadaksa yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Anak tuna daksa kelompok ini mengalami gangguan gerak dan kebanyakan dari mereka mengalamigannguan kecerdasan dan sering disebut neurologically handicapped atau secara khususmereka disebut penyandang cerebral palsy. Anak tuna daksa kelompok inimembutuhkan layanan pendidikan luar biasa.Anak yang mengalami gangguan gerakan pada taraf sedang dan berat,umumnya dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB), sedangkan anak yang mengalami gangguan gerakan dalam taraf ringan banyak ditemukan sekolah ± sekolah umum. Namun jika mereka tidak mendapatkan pelayanan khusus dapatmenyebabkan terjadinya kesulitan belajar yang serius.

B.     Rumusan Masalah
Apa pengertian dari anak Tuna Daksa?
Bagaimana Karakteristik dan permasalahan yang dihadapi dari anak Tuna Daksa?
Bagaimana Klasifikasi dari anak Tuna Daksa?
Apa penyebab anak Tuna Daksa?
Bagaimana perkembangan kognitif dari anak Tuna Daksa?
Bagaimana perkembangan sosial, emosi, dan kepribadian anak Tuna Daksa?


C.    Tujuan
Mengetahui pengertian dari anak Tuna Daksa.
Menjelaskan karakteristik dan permasalahan yang dihadapi anak Tuna Daksa.
Menguraikan klasifikasi anak Tuna Daksa.
Mengetahui penyebab anak Tuna Daksa.
Menjelaskan perkembangan kognitif anak Tuna Daksa.
Menjelaskan perkembangan sosial, emosi, dan kepribadian anak Tuna Daksa.






BAB II

PEMBAHASAN

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNA DAKSA

A.    Pengertian Anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik atau salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot, dan persendian yang mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu.

Didalam Wikipedia, pengertian Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

B.     Karakteristik dan Permasalahan yang dihadapi Anak Tuna Daksa
Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk mengidentifikasi karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai berikut :

Karakteristik Kepribadian
Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang demikian ini tidak menimbulkan frustasi.
Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan lamanya kelainan fisik yang diderita.
Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau ketidak mampuan individu dalam menyesuaikan diri.
Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang mengalami sakit jantung.
Karakteristik Emosi-sosial
Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak tuna daksa dapat berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat menimbulkanfrustasi yang berat.
Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkirkan diri dari keramaian.
Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-anak normal dalam suatu permainan.
Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dengan lingkunganya.
Karakteristik Intelegensi
Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi  ada beberapa kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu bila kecacatanya meningkat.
Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
Karakteristik Fisik
Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami gangguan-gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai pada batas-batas tertentu.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah satunya tidak dimiliki.

Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dari dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi siswa disekolah. Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa masalah, yaitu:

Masalah kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak ,sehingga fungsi fikirnya terganggu persepsi. Apalagi bagi anak tuna daksa yang disertai dengan cacat-cacat lainya dapat menimbulkan komplikasi yang secara otomatis dapat berpengaruh terhadap kemampuan menyerap materi yang diberikan.

Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai kesulitan dan hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena kelainan jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh teman-temannya, diisilasi, dihina, dibenci, dan bahkan tidak disukai sama sekali kehadiranya dan sebagainya.

Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri bahkan tidak adanya kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.

Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain pihak bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang perlu adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya menggantungkan diri pada orang lain. Karena itu dengan modal kemampuan yang dimilikinya perlu diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk dapat mengembangkan lewat latihan ketrampilan dan kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga setelah selesai masa pendidikan mereka dapat menghidupi dirinya, tidak selalu mengharapkan pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya kerja sama yang baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk dapat menampung mereka.

Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami gangguan dalam gerak. Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan harapan supaya kondisi fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu adanya latihan yang sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik (fisio-therapy), terapi-tari (dance-therapy), terapi-bermain (play-therapy), dan terapi-okupasional (occupotional-therapy).

C.    Klasifikasi  Anak Tuna Daksa
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral ( Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka ( Musculus Skeletal System)

1. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral system disorders)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem serebral ( cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut:
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan
            Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas: golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat.

• Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama (dalam hal ini mengikuti aktivitas sehari-hari) anak normal lainnya. Kelainan yang dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.

• Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment atau latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri.  Golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk atau tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.

• Golongan berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy. Golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan menolong dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat.

 b. Penggolongan menurut topografi

Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral Palsy dapat digolongkan menjadi enam golongan, yaitu:

• Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri.
Sedangkan kaki kanan dan kedua tangannya normal.
• Hemiplegia
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama,
misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
• Paraplegia
Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
• Diplegia
Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri
(paraplegia).

• Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan
kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.

• Quadriplegia
Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota
geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.

c. Penggolongan menurut fisiologi
            Dilihat dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat di
otak dan fungsi geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:

• Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional, kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada yang normal bahkan ada yang di atas normal.

• Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi gerak.

• Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya dapat terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut.

• Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai, dan bibir.

• Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot – tidak seperti pada tipe spastik – di mana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.

• Tipe campuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu tipe CP.

2. Kelainan pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel system)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi

a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai enam tahun.

b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan saja atau kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki. Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti. Gejala anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan yang lambat, di mana semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika berjalan sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda

D.    Penyebab Tuna Daksa
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing timbulnya kerusakan berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya, kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.

1. Sebelum lahir (fase prenatal)

Kerusakan terjadi pada saat bayi saat masih dalam kandungan
disebabkan:

a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.

b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.

c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.

d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya terbentur dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi, maka dapat merusak sistem syaraf pusat.

2. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
            Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:

a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang yang kecil pada ibu sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.

b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.

c. Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.

3. Setelah proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

E.     Perkembangan Kognitif  Anak Tuna Daksa
Proses perkembangan kognitif banyak ditentukan dari pengalaman-pengalaman individu sebagai hasil belajar. Proses perkembangan kognitif akan berjalan dengan baik apabila ada dukungan atau dorongan dari lingkungan. Seperti dikatakan Piaget bahwa setiap individu memiliki struktur kognitif dasar yang disebut schema (misalnya kemampuan untuk melakukan gerakan refleks, seperti menghisap, merangkak, dan gerakan refleks lainnya).schema ini akan berkembang melalui belajar. Proses adaptasi yang didahulukan dengan adanya persepsi.

Anak tuna daksa yang mengalami kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah secara fisiologis dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tuna daksa mengalami hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan dan mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga sedikit banyak masalah ini mengakibatkan hambatan dalam perkembangan struktur  kognitif anak tuna daksa. Dalam pengukuran intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka intelegensi yang cukup tinggi. Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tuna daksa ini belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas, masalah emosi, kepribadian akan mempengaruhi anak tuna daksa dalam melakukan eksplorasi keluar.

F.     Perkembangan Sosial, Emosi, dan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan Sosial Anak Tuna Daksa
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga, teman-teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin (1996) menjelaskan bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tuna daksa dapat mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi. Sebaiknya sikap-sikap positif yang ditunjukkan orang tua maupun teman-temannya akan lebih membantu anak dalam penerimaan diri terhadap kenyataan yang dihadapi, sehingga masalah-masalah perkembangan sosial dapat diatasi.

Perkembangan Emosi Anak Tuna Daksa
Ketunaan yang ada pada anak tuna daksa secara khusus tidak akan menghambat dalam perkembangan emosi pada anak tuna daksa. Hambatan ini dialami setelah anak mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya mengalami kegagalan ditambah lingkungan orangtua yang tidak menguntungkan, menyebabkan anak tuna daksa sering nampak muram, sedih dan jarang menampakkan rasa senang.

Perkembangan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan kepribadian anak banyak ditemukan oleh pengalaman usia dini, keadaan fisik, kesehatan, pemberian cap dari orang lain, intelegensi, pola asuh orangtua dan sikap masyarakat. Pada usia dini anak tuna daksa mengalami gangguan dalam fungsi mobilitas, gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan berjalan. Kondisi ini apabila didukung dengan sikap yang negative dari keluarga maupun masyarakat akan menjadikan pengalaman di usia dini yang sangat menyakitkan, dan dapat menjadikan pengalaman-pengalaman yang traumatis pada anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tin Suharmini (1988) dengan menggunakan tes grafis, ternyata ditemukan sebagian sebagian besar anak tuna daksa mempunyai perasaan yang rendah diri (minder), kurang percaya diri, kemasakan sosialnya kurang, emosional, menentang lingkungan, tertutup, mengalami kekecewaan hidup, dan kompensensi.



      BAB III

      PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Secara definitive pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus. Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada system saraf pusat Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekuensi atau akibat yang hampir serupa, terutama pada aspek kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa (1985) paling tidak ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu sebagai berikut: Kematangan, Pengalaman, Transmisi social dan Ekuilibrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar