BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh
(anak tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks
Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus) masih dipermasalahkan. Munculnya
permasalahan tersebutterkait dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehialangan
salah satu atau lebih fungsianggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak
mengalami kesulitan untuk menititugas perkembangannya, tanpa harus masuk
sekolah khusus untuk anak tunadaksa(khususnya tunadaksa ringan).
Secara umum dikenal dua macam anak tunadaksa. Pertama, anak tuna daksa
yang disebabkan karena penyakit polio, yang mengakibatkan terganggunya salah
satu fungsianggota badan. Anak tunadaksa kelompok ini sering disebut
orthopedically handicapped,tidak mengalami hambatan perkembangan kecerdasannya.
Oleh karena itu mereka dapat belajar mengikuti program sekolah biasa.
Kedua, anak tunadaksa yang disebabkan oleh
gangguan neurologis. Anak tuna daksa kelompok ini mengalami gangguan gerak dan
kebanyakan dari mereka mengalamigannguan kecerdasan dan sering disebut
neurologically handicapped atau secara khususmereka disebut penyandang cerebral
palsy. Anak tuna daksa kelompok inimembutuhkan layanan pendidikan luar
biasa.Anak yang mengalami gangguan gerakan pada taraf sedang dan berat,umumnya
dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB), sedangkan anak yang mengalami gangguan
gerakan dalam taraf ringan banyak ditemukan sekolah ± sekolah umum. Namun jika
mereka tidak mendapatkan pelayanan khusus dapatmenyebabkan terjadinya kesulitan
belajar yang serius.
B.
Rumusan Masalah
Apa pengertian dari anak Tuna Daksa?
Bagaimana Karakteristik dan permasalahan
yang dihadapi dari anak Tuna Daksa?
Bagaimana Klasifikasi dari anak Tuna Daksa?
Apa penyebab anak Tuna Daksa?
Bagaimana perkembangan kognitif dari anak
Tuna Daksa?
Bagaimana perkembangan sosial, emosi, dan
kepribadian anak Tuna Daksa?
C.
Tujuan
Mengetahui pengertian dari anak Tuna Daksa.
Menjelaskan karakteristik dan permasalahan
yang dihadapi anak Tuna Daksa.
Menguraikan klasifikasi anak Tuna Daksa.
Mengetahui penyebab anak Tuna Daksa.
Menjelaskan perkembangan kognitif anak Tuna
Daksa.
Menjelaskan perkembangan sosial, emosi, dan
kepribadian anak Tuna Daksa.
BAB II
PEMBAHASAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNA DAKSA
A.
Pengertian Anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai
kelainan ortopedik atau salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal
pada tulang, otot, dan persendian yang mungkin karena bawaan sejak lahir,
penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau bergerak atau berjalan
memerlukan alat bantu.
Didalam Wikipedia, pengertian Tunadaksa
adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan
neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang
yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik,
berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu
mengontrol gerakan fisik.
B.
Karakteristik dan Permasalahan yang dihadapi Anak Tuna Daksa
Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa,
sehingga untuk mengidentifikasi karakteristiknya diperlukan pembahasan yang
sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber ditemukan beberapa karakteristik umum
bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai berikut :
Karakteristik Kepribadian
Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah
memperoleh pengalaman, yang demikian ini tidak menimbulkan frustasi.
Tidak ada hubungan antara pribadi yang
tertutup dengan lamanya kelainan fisik yang diderita.
Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi
kepribadian atau ketidak mampuan individu dalam menyesuaikan diri.
Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung
memiliki rasa takut daripada yang mengalami sakit jantung.
Karakteristik Emosi-sosial
Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat
dijangkau oleh anak tuna daksa dapat berakibat timbulnya problem emosi,
perasaan dan dapat menimbulkanfrustasi yang berat.
Keadaan tersebut dapat berakibat fatal,
yaitu mereka menyingkirkan diri dari keramaian.
Anak tuna daksa cenderung acuh bila
dikumpulkan bersama anak-anak normal dalam suatu permainan.
Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami
keterbatasan dalam berkomunikasi dengan lingkunganya.
Karakteristik Intelegensi
Tidak ada hubungan antara tingkat
kecerdasan dan kecacatan, tapi ada
beberapa kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu
bila kecacatanya meningkat.
Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna
daksa rata-rata normal.
Karakteristik Fisik
Selain memiliki kecacatan tubuh, ada
kecenderungan mengalami gangguan-gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya
daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat
dikembangkan sampai pada batas-batas tertentu.
Adanya berbagai karakteristik tersebut
bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa memiliki semua karakteristik yang
diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah satunya tidak dimiliki.
Dari karakteristik tersebut menimbulkan
dampak positif maupun dampak negatif. Dari dampak negatif timbul
masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi siswa disekolah.
Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa masalah, yaitu:
Masalah kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak ,sehingga
fungsi fikirnya terganggu persepsi. Apalagi bagi anak tuna daksa yang disertai
dengan cacat-cacat lainya dapat menimbulkan komplikasi yang secara otomatis
dapat berpengaruh terhadap kemampuan menyerap materi yang diberikan.
Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai
kesulitan dan hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat
terjadi karena kelainan jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh
teman-temannya, diisilasi, dihina, dibenci, dan bahkan tidak disukai sama
sekali kehadiranya dan sebagainya.
Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud
kurangnya ketahanan diri bahkan tidak adanya kepercayaan diri, mudah
tersinggung dan sebagainya.
Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik
yang terbatas, namun di lain pihak bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang
normal ataupun yang kurang perlu adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak
sepenuhnya menggantungkan diri pada orang lain. Karena itu dengan modal
kemampuan yang dimilikinya perlu diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya
untuk dapat mengembangkan lewat latihan ketrampilan dan kerja yang sesuai
dengan potensinya, sehingga setelah selesai masa pendidikan mereka dapat
menghidupi dirinya, tidak selalu mengharapkan pertolongan oranglain. Di lain
pihak dianggap perlu sekali adanya kerja sama yang baik dengan perusahaan baik negeri
maupun swasta untuk dapat menampung mereka.
Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar
mengalami gangguan dalam gerak. Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan
dengan harapan supaya kondisi fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap
perlu adanya latihan yang sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik
(fisio-therapy), terapi-tari (dance-therapy), terapi-bermain (play-therapy),
dan terapi-okupasional (occupotional-therapy).
C.
Klasifikasi Anak Tuna Daksa
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa,
pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral ( Cerebral System), dan
(2) kelainan pada sistem otot dan rangka ( Musculus Skeletal System)
1. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral
system disorders)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam
kelainan sistem serebral ( cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran
yang terletak di dalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang).
Kerusakan pada sistem syaraf pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial
karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup
manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan,
pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian
otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan
menurut:
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas:
golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat.
• Golongan ringan adalah mereka yang dapat
berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama (dalam hal
ini mengikuti aktivitas sehari-hari) anak normal lainnya. Kelainan yang
dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
• Golongan sedang adalah mereka yang
membutuhkan treatment atau latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus
dirinya sendiri. Golongan ini memerlukan
alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu
penyangga kaki, kruk atau tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan
pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus
dirinya sendiri.
• Golongan berat adalah mereka yang
memiliki cerebral palsy. Golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam
ambulansi, bicara, dan menolong dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup
mandiri di tengah-tengah masyarakat.
b.
Penggolongan menurut topografi
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya
anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral Palsy dapat digolongkan menjadi enam
golongan, yaitu:
• Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh,
misalnya kaki kiri.
Sedangkan kaki kanan dan kedua tangannya
normal.
• Hemiplegia
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada
sisi yang sama,
misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau
tangan kiri dan kaki kiri.
• Paraplegia
Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
• Diplegia
Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau
kedua kaki kanan dan kiri
(paraplegia).
• Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan,
misalnya tangan kanan dan
kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan
kedua kakinya lumpuh.
• Quadriplegia
Anak jenis ini mengalami kelumpuhan
seluruhnya anggota
geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan
dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
c. Penggolongan menurut fisiologi
Dilihat dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat di
otak dan fungsi geraknya (motorik), maka
anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
• Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya
gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan
itu timbul ketika akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan
emosional, kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam
keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis
spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara
mereka ada yang normal bahkan ada yang di atas normal.
• Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan
atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini
terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan
koordinasi gerak.
• Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti
kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya dapat terlihat dengan jelas saat
berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem
koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami
gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan
sehari-hari adalah pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum
sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
• Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor
adalah gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak
seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata,
tungkai, dan bibir.
• Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot
– tidak seperti pada tipe spastik – di mana gerakannya tampak tidak ada
keluwesan.
• Tipe campuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun
lebih jenis gejala CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan
anak yang hanya memiliki satu tipe CP.
2. Kelainan pada sistem otot dan rangka (
musculus scelatel system)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam
kelompok sistem otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota
tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang
belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi
a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan
otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus
polio ini menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai enam
tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot.
Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari
semakin parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan
saja atau kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki. Penyebab terjadinya
muscle distrophy belum diketahui secara pasti. Gejala anak menderita muscle
dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan
yang lambat, di mana semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika
berjalan sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu
berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda
D.
Penyebab Tuna Daksa
Ada beberapa macam sebab yang dapat
menimbulkan kerusakan pada anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut
ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, serta pada
sistem musculus skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing
timbulnya kerusakan berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya, kerusakan otak
dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebelum lahir (fase prenatal)
Kerusakan terjadi pada saat bayi saat masih
dalam kandungan
disebabkan:
a. Infeksi atau penyakit yang menyerang
ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.
b. Kelainan kandungan yang menyebabkan
peredaran terganggu, tali pusar tertekan, sehingga merusak pembentukan
syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi
yang langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun
fungsinya terganggu.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami
trauma yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat.
Misalnya, ibu jatuh dan perutnya terbentur dengan cukup keras dan secara
kebetulan mengganggu kepala bayi, maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
2. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan
antara lain:
a. Proses kelahiran yang terlalu lama
karena tulang pinggang yang kecil pada ibu sehingga bayi mengalami kekurangan
oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam
otak bayi sehingga jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika
proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan
syaraf otak pada bayi.
c. Pemakaian anestesi yang melebihi
ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang
melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi sehingga otak
mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
3. Setelah proses kelahiran (fase post
natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa di mana
bayi mulai dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu
pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi
lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.
E.
Perkembangan Kognitif Anak Tuna
Daksa
Proses perkembangan kognitif banyak
ditentukan dari pengalaman-pengalaman individu sebagai hasil belajar. Proses
perkembangan kognitif akan berjalan dengan baik apabila ada dukungan atau
dorongan dari lingkungan. Seperti dikatakan Piaget bahwa setiap individu
memiliki struktur kognitif dasar yang disebut schema (misalnya kemampuan untuk
melakukan gerakan refleks, seperti menghisap, merangkak, dan gerakan refleks
lainnya).schema ini akan berkembang melalui belajar. Proses adaptasi yang didahulukan
dengan adanya persepsi.
Anak tuna daksa yang mengalami kerusakan
alat tubuh, tidak ada masalah secara fisiologis dalam struktur kognitifnya.
Masalah terjadi ketika anak tuna daksa mengalami hambatan dan mobilitas. Anak
mengalami hambatan dalam melakukan dan mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga
sedikit banyak masalah ini mengakibatkan hambatan dalam perkembangan
struktur kognitif anak tuna daksa. Dalam
pengukuran intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka intelegensi
yang cukup tinggi. Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tuna
daksa ini belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas, masalah
emosi, kepribadian akan mempengaruhi anak tuna daksa dalam melakukan eksplorasi
keluar.
F.
Perkembangan Sosial, Emosi, dan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan Sosial Anak Tuna Daksa
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini
bersumber pada sikap keluarga, teman-teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim
dan Sugiarmin (1996) menjelaskan bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan
terhadap anak tuna daksa dapat mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan
kemampuan bersosialisasi. Sebaiknya sikap-sikap positif yang ditunjukkan orang
tua maupun teman-temannya akan lebih membantu anak dalam penerimaan diri terhadap
kenyataan yang dihadapi, sehingga masalah-masalah perkembangan sosial dapat
diatasi.
Perkembangan Emosi Anak Tuna Daksa
Ketunaan yang ada pada anak tuna daksa
secara khusus tidak akan menghambat dalam perkembangan emosi pada anak tuna
daksa. Hambatan ini dialami setelah anak mengadakan interaksi dengan
lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya mengalami kegagalan ditambah
lingkungan orangtua yang tidak menguntungkan, menyebabkan anak tuna daksa
sering nampak muram, sedih dan jarang menampakkan rasa senang.
Perkembangan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan kepribadian anak banyak
ditemukan oleh pengalaman usia dini, keadaan fisik, kesehatan, pemberian cap
dari orang lain, intelegensi, pola asuh orangtua dan sikap masyarakat. Pada
usia dini anak tuna daksa mengalami gangguan dalam fungsi mobilitas, gangguan
pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan berjalan. Kondisi ini apabila
didukung dengan sikap yang negative dari keluarga maupun masyarakat akan
menjadikan pengalaman di usia dini yang sangat menyakitkan, dan dapat
menjadikan pengalaman-pengalaman yang traumatis pada anak. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Tin Suharmini (1988) dengan menggunakan tes grafis,
ternyata ditemukan sebagian sebagian besar anak tuna daksa mempunyai perasaan
yang rendah diri (minder), kurang percaya diri, kemasakan sosialnya kurang,
emosional, menentang lingkungan, tertutup, mengalami kekecewaan hidup, dan
kompensensi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Secara definitive pengertian kelainan
fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan
yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan
secara khusus. Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada
fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir
(prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden
kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi
lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan faktor genetik dan
kerusakan pada system saraf pusat Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan
yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang
memiliki konsekuensi atau akibat yang hampir serupa, terutama pada aspek
kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks
perkembangan kognitif menurut Gunarsa (1985) paling tidak ada empat aspek yang
turut mewarnai, yaitu sebagai berikut: Kematangan, Pengalaman, Transmisi social
dan Ekuilibrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar